Konsep dan taksonomi sub
sistem kebijakan publik dalam proses formulasi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Berbicara dalam Ilmu
Administrasi Negara tidak pernah lepas dari pembicaraan tentang Kebijakan
Publik. Ini memang dikarenakan Kebijakan Publik merupakan kajian utama dari
Ilmu Administrasi Negara. Lalu apakah yang dimaksud dengan Kebijakan Publik?
Chandler & Plano
(1982) dalam kamus “wajib” Ilmu Administrasi Negara, The Public
Administration Dictionary, mengatakan bahwa: “Public Policy is
strategic use of reseorces to alleviate national problems or governmental
concerns”. Secara sederhana dapat diartikan bahwa kebijakan publik
adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang ada untuk
memecahkan masalah publik atau pemerintah. Chandler & Plano lalu
membedakannya atas empat bentu, yakni: regulatory, redistributive,
distributive, dan constituent.
Dalam bukunya Harbani
Paolong (Teori Administrasi Publik: 2007) terdapat beberapa pengertian
Kebijakan Publik dari beberapa ahli. Thomas R Dye (1981), mengatakan bahwa
kebijakan publik adalah “apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau
tidak dilakukan”. William N Dunn (1994), mengatakan bahwa kebijakan publik
adalah rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh
lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas
pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain.
Sementara itu, Shiftz
& Russel (1997) mendefinisikan kebijakan publik dengan sederhana dan
menyebut “is whatever government dicides to do or not to do”.Sedangkan
Chaizi Nasucha (2004), mengatakan bahwa kebijakan publik adalah kwenangan
pemerintah dalam pembuatan suatu kebijakan yang digunakan ke dalam perangkat
peraturan hukum. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menyerap dinamika sosial
dalam masyarakat, yang akan dijadikan acuan perumusan kebijakan agar tercipta
hubungan sosial yang harmonis.
B. Rumusan
masalah
1. Pengertian
Kebijakan Publik
2. Peran
dan Fungsi Pemerintah Daerah
3. Kebijakan
Publik Daerah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kebijakan public
Menurut Fadilah Putra
(2001), kebijakan publik adalah sesuatu yang dinamis dan kompleks bukannya
sesuatu yang kaku dan didominasi oleh para pemegang kekuasaan formal semata,
namun kebijakan publik kembali ke makna dasar demokratiknya, yaitu kebijakan
yang dari, oleh dan untuk publik (rakyat).
Sejak lahirnya
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang
Nomor 33 tahun 2004, yang disempurnakan dengan Undang-Undang proses
desentralisasi menghendaki kekuasaan terdistribusi hingga ke lapisan bawah di
masyarakat. Menurut Sudantoko (2003) Desentralisasi menjanjikan banyak hal bagi
kemanfaatan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat di tingkat lokal.
Menurut Undang-Undang
Otonomi Daerah Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999,
pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya
sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah pusat tidak menguasai dengan
penuh, namun hanya sebatas memberi arahan, memantau, mengawasi dan mengevaluasi
pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian setiap kebijakan nasional harus
diimplementasikan oleh pemerintah daerah. Implementasi tidak hanya dalam bentuk
menterjemahkan kebijakan dalam suatu pedoman teknis, tetapi juga dengan
memperhatikan berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Persepsi dalam manajemen
pemerintah daerah, secara umum diartikan sebagai respon pemerintah daerah
terhadap perubahan yang terjadi, dan hal ini tergantung pada perhatian dan
kebutuhan-kebutuhan, serta tujuan-tujuan dari manajer itu sendiri (Shortell,
1988). Bagi organisasi pemerintah daerah, pemahaman terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi tersebut dapat dilakukan melalui empat
pendekatan sebagai berikut:
1.
Melakukan motivasi kepada para anggota, baik perorangan maupun
dalam kelompok, untuk menumbuhkan kesamaan persepsi, kebersamaan, mengurangi
konflik, meningkatkan semangat kerja, dan menyusun kekuatan yang dimiliki.
2.
Melakukan penguasaan tehnik operasional dalam rangka mencapai
produktivitas, efisiensi, peningkatan mutu, dan orientasi terhadap pelanggan.
3.
Menyusun kembali bentuk organisasi yang cocok dan sesuai dengan
lingkungan kebutuhan, tantangan, maupun peluang yang dihadapi.
4.
Memiliki wawasan jauh ke depan, dan mengembangkan pola pikir
strategi, pro-aktif, kreatif dalam menyongsong masa depannya (Shortell, 1988).
Konstruksi tentang
persepsi sebagaimana terurai di atas, pada akhirnya harus menyadari pentingnya
pemahaman atas ”persepsi sosial” dan ”persepsi selektif” Kepentingan pemahaman
terhadap persepsi sosial dikarenakan kita hidup dalam suatu organisasi,
sedangkan kepentingan pemahaman terhadap persepsi selektif karena kita harus
mampu bersikap kritis terhadap besarnya informasi dan data yang masuk. Persepsi
sosial dan persepsi selektif lebihlanjut dapat diuraikan lebih
lanjut.
Persepsi sosial secara
umum dapat dibagi dalam tiga aspek, yaitu aspek atribusi, stereotype dan hallo
effect.
1.
Aspek Atribusi: merupakan aspek dalam persepsi sosial yang cenderung
menginterpretasikan obyek dalam kondisi sebab akibat. Contoh: Persepsi
seseorang terhadap perilaku pejabat yang cenderung lunak terhadap wanita,
dikarenakan semua anaknya adalah wanita.
2.
Aspek Stereotype: merupakan aspek dalam persepsi sosial yang cenderung
menginterpretasikan obyek dalam kondisi beberapa kategori. Contoh: Persepsi
seseorang terhadap perilaku pejabat dilihat dari kategori suku, akan
menghasilkan interpretasi bahwa pejabat dari suku batak dinilai kasar dan
pejabat dari suku sunda dinilai lebih halus. Namun jika dilihat dari kategori
ketegasan, akan menghasilkan interpretasi bahwa pejabat dari suku batak dinilai
lebih tegas.
3.
Aspek Hallo Effect: merupakan aspek dalam persepsi sosial yang cenderung
menginterpretasikan obyek berdasarkan sifat tunggal saja. Contoh: Persepsi
seseorang terhadap perilaku pejabat dilihat hanya dari sifat rajinnya saja,
sehingga sifat-sifat lain tidak diperhitungkan.
Sebagaimana didalam persepsi sosial, maka
didalam persepsi selektif terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan,
antara lain adalah aspek karakteristik, situasi, kebutuhan, dan emosi.
1.
Aspek Karakteristik: merupakan aspek dalam persepsi selektif
yang cenderung menginterpretasikan obyek berdasarkan kriteria diri sendiri.
Contoh: Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sangat kritis,
cenderung akan memiliki persepsi mitra kerjanya juga memiliki sikap kritis.
2.
Aspek Situasi: merupakan aspek dalam persepsi selektif yang cenderung
menginterpretasikan obyek berdasarkan kriteria situasi. Contoh: Seorang anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sedang terdesak waktu untuk menyelesaikan
tugas, cenderung akan memiliki persepsi yang dipengaruhi oleh keterbatasan
waktu sehingga terkadang berpotensi mengabaikan beberapa prosedur yang biasanya
dilakukan.
3.
Aspek Kebutuhan: merupakan aspek dalam persepsi selektif yang cenderung
menginterpretasikan obyek berdasarkan kriteria kebutuhan. Contoh: Seorang
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sedang membutuhkan data pembanding
untuk menyelesaikan tugas, cenderung akan memiliki persepsi ang dipengaruhi
oleh kebutuhan akan data tersebut sehingga berpotensi kurang teliti dalam
penggunaan data.
4.
Aspek Emosi: merupakan aspek dalam persepsi selektif yang cenderung menginterpretasikan
obyek berdasarkan kriteria emosi. Contoh: Seorang anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang sedang dalam kondisi emosional oleh suatu sebab, cenderung
akan memiliki persepsi bahwa peraturan organisasi yang ada sangat buruk.
Pemerintah selaku
pemegang kekuasaan eksekutif dibedakan dalam dua pengertian yuridis, yakni:
1.
Selaku alat kelengkapan negara yang bertindak untuk dan atas
nama negara yang kekuasaannya melekat pada kedudukan seorang kepala negara.
2.
Selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas penyelenggaraan
pemerintahan atau selaku administrator negara (pejabat atau badan atas usaha
negara)
Lebih jauh berkaitan
dengan birokrasi publik di Indonesia, Miftah Thoha (Miftah Thoha, 2000: 4-5)
memberikan catatan tentang restrukturisasi dan reposisi birokrasi publik.
Sekurangnya terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan, yaitu aspek penegakan
demokrasi, aspek perubahan sistem politik, dan aspek perkembangan teknologi
informasi.
1.
Aspek Penegakan Demokrasi: Prinsip demokrasi yang paling urgen
adalah meletakkan kekuasaan pada rakyat dan bukan pada penguasa. Oleh karena
itu struktur kelembagaan pemerintah yang disebut birokrasi tidak dapat lepas
dari kontrol rakyat. Wujud kekuasaan dan peran rakyat ialah bahwa pada setiap
penyusunan birokrasi harus berdasarkan undang-undang. Berdasarkan
undang-undang, rakyat terlibat dalam mendesain dan menetapkan lembaga-lembaga
pemerintahan atau birokrasi di pusat maupun di daerah.
2.
Aspek Perubahan Sistem Politik: Era reformasi saat ini sungguh
menghadapi persoalan kondisi mental, sikap dan perilaku politik warisan rezim
terdahulu terutama dalam kerangka single majority Golongan Karya. Pada masa
orde baru semua posisi jabatan dalam organisasi publik ditempati oleh kader-kader
Golkar. Oleh karena itu tidak dapat dibedakan manakah yang “birokrat tulen” dan
manakah “birokrat partisan” Struktur organisasi publik berkembang antara
pejabat birokrasi dan pejabat politik. Semua organisasi pemerintah dikaburkan
antara jabatan karier dan nonkarier, antara jabatan birokrasi dan jabatan
politik.
3.
Aspek Perkembangan Teknologi Informasi: Kemajuan jaman dan
perubahan global telah menjadikan cara kerja suatu birokrasi dengan menggunakan
teknologi informasi. Cara demikian telah menciptakan “birokrasi tanpa batas dan
tanpa kertas” Berdasarkan kondisi demikian, maka tatanan organisasi akan
berubah menjadi lebih pendek dan ramping. Sesuai dengan asas demokrasi,
kewenangan birokrasi menjadi tidak hanya berada pada tataran penguasa melainkan
tersebar dimana-mana (decentralized). Birokrasi tanpa batas dan tanpa kertas
telah menjadikan birokrasi tidak lagi secara tegas mengikuti garis hirarki.
Struktur organisasi bersifat ad-hoc, komite, dan matrik akan menjadi model
organisasi mendatang, yang sering disebut sebagai organisasi struktur logis
(logical structure).
Pada suatu pemerintahan
terdapat fungsi legislasi. Fungsi legislasi secara umum adalah fungsi untuk
membuat peraturan perundang-undangan atau pembuatan kebijakan. Mengacu pada
pengertian ini, kewenangan legislasi sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh
parlemen (DPR/DPRD), tetapi juga oleh institusi-institusi lain seperti
eksekutif serta yudikatif. Akan tetapi kajian modul ini hanya akan berfokus
pada peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam proses penyusunan
Peraturan Daerah (Perda).
Sesuai dengan UU nomor 22
tahun 2003 (tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah), DPRD merupakan sebuah lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan
sebagai lembaga pemerintahan daerah provinsi/kabupaten/kota. Dalam UU nomor 32
tahun 2004 (tentang Pemerintahan Daerah) menyebutkan DPRD sebagai lembaga
perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di
daerah. Sebagai sebuah lembaga pemerintahan di daerah atau unsur penyelenggara
pemerintahan di daerah, DPRD mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan
pengawasan.
Untuk fungsi legislasi
sendiri, terdapat beberapa peraturan perundangan yang mengatur pelaksanaan
fungsi ini, antara lain:
1.
Undang-Undang nomor 10
tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
2.
Peraturan Pemerintah
nomor 25 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD
Fungsi legislasi dari
DPRD adalah bersama-sama dengan Kepala Daerah membuat dan menetapkan Perda,
yang berfungsi sebagai:
1. Perda sebagai arah pembangunan
Sebagai kebijakan publik
tertinggi di daerah, Perda harus menjadi acuan seluruh kebijakan publik yang
dibuat termasuk didalamnya sebagai acuan daerah dalam menyusun program
pembangunan daerah. Contoh konkritnya adalah Perda tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
atau Rencana Strategik Daerah (RENSTRADA).
2. Perda sebagai Arah Pemerintahan di Daerah
Sesuai dengan Tap MPR
Nomor XI tahun 1998 serta UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan negara
yang bersih dan bebas dari KKN, maka ditetapkan asas-asas umum penyelenggaraan
negara yang baik (good governance). Dalam penerapan asas tersebut untuk
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersih dan bebas dari KKN, maka
asas-asas tersebut merupakan acuan dalam penyusunan Perda sebagai peraturan
pelaksanaannya di daerah.
Fungsi penganggaran
merupakan salah satu fungsi DPRD yang diwujudkan dengan menyusun dan menetapkan
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) bersama-sama pemerintah daerah.
Dalam melaksanakan fungsi penganggaran tersebut DPRD harus terlibat secara
aktif, proaktif, bukan reaktif, dan bukan hanya sebagai lembaga legitimasi
usulan APBD yang diajukan pemerintah daerah.
Fungsi penganggaran
memegang peranan yang sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat,
karena APBD yang dihasilkan oleh fungsi penganggaran DPRD memiliki fungsi
sebagai berikut:
1. APBD sebagai fungsi kebijakan fiskal
Sebagai cerminan
kebijakan fiskal, APBD memiliki 3 (tiga) fungsi utama, yaitu:
a.
Fungsi alokasi
Fungsi alokasi mengandung
arti bahwa APBD harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/mengurangi
pengangguran, mengurangi pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi
dan efektivitas perekonomian. APBD harus dialokasikan sesuai dengan skala
prioritas yang telah ditetapkan.
Fungsi distribusi
Fungsi distribusi
mengandung arti bahwa kebijakan APBD harus memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan. Jika fungsi distribusi APBD berjalan dengan baik, maka APBD dapat
mengurangi ketimpangan dan kesenjangan dalam berbagai hal.
c.
Fungsi stabilisasi
Fungsi stabilisasi
mengandung arti bahwa APBD merupakan alat untuk memelihara dan mengupayakan
keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
2. APBD sebagai fungsi investasi daerah
Dalam pandangan manajemen
keuangan daerah, APBD merupakan rencana investasi daerah yang dapat
meningkatkan daya saing daerah dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, APBD
harus disusun sebaik mungkin agar dapat menghasilkan efek ganda (multiplier
effect) bagi peningkatan daya saing daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan
kesejahteraan rakyat secara berkesinambungan.
3. APBD sebagai fungsi manajemen pemerintahan
daerah
Sebagai fungsi manajemen
pemerintahan daerah, APBD mempunyai fungsi sebagai pedoman kerja, alat
pengendalian (control), dan alat ukur kinerja bagi pemerintah daerah. Dengan
kata lain, dipandang dari sudut fungsi manajemen pemerintah daerah, APBD
memiliki fungsi perencanaan, otorisasi, dan pengawasan. Dalam penjelasan PP
Nomor 58/2005, fungsi perencanaan, otorisasi, dan pengawasan didefinisikan
sebagai berikut:
a.
Fungsi perencanaan
mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam
merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
b.
Fungsi otorisasi
mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan
pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
c.
Fungsi pengawasan
mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah
kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
Uraian di atas memberikan
gambaran jelas bahwa fungsi penganggaran memiliki peranan yang sangat penting
dalam pembangunan daerah. Selain itu, fungsi penganggaran yang baik mendorong
terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Pengawasan
adalah mutlak diperlukan, sebab pengawasan merupakan salah satu kegiatan dalam
rangka upaya pencegahan. Jadi norma pengawasan harus benar-benar diatur secara
rinci, sistematis, dan jelas, baik menyangkut instansi/pajabat pangawas, obyek
pengawasan, prosedur (tata cara), koordinasi, persyaratan, dan akibat
pengawasan.
C.
C. Kebijakan Publik
Daerah
1. Proses Kebijakan
Publik Daerah
Beberapa
kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Barat, seperti Kabupaten Sukabumi,
Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kota Depok, Kabupaten Indramayu, Kota
Banjar maupun kabupaten/-kota/pro-vinsi lainnya, mulai bergelut kembali memilih
pimpinan daerahnya secara langsung. Melalui proses pemilihan umum kepala daerah
(pemilukada) yang demokratis diharapkan dapat melahirkan kepala daerah yang
memiliki legitimasi yang kuat yang pada akhirnya responsif dan peka terhadap
kebutuhan rakyat. Hal itu terungkap dengan munculnya fakta, janji-janji politik
yang disampaikan oleh para kandidat kepala daerah, setelah terpilih menjadi
pimpinan daerah, ternyata kurang direspons secara optimal dalam bentuk
kebijakan publik bagi kepentingan rakyat. Malah yang terjadi adalah
menjangkitnya politik uang dan korupsi dalam proses formulasi dan implementasi
kebijakan serta terabaikan janji-janji politik yang dimaklumatkan pada saat
kampanye. Menurut pandangan penulis, hal itu disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, ketidaksiapan
kepala daerah dan pemangku kepentingan di daerah dalam menghadapi terjadinya
perubahan pada sistem perumusan kebijakan publik. Ketidaksiapan tersebut
tergambar dari lemahnya ketrampilan negosiasi dan kemampuan melakukan kompromi
secara jujur dan arif dari kepala daerah dengan semua pemangku kepentingan di
daerah. Padahal, demokrasi mengakibatkan sistem interaksi dalam proses
kebijakan publik menjadi terpencar dan bukannya terpusat lagi (Hill,2005).
Kepala daerah dan perumus kebijakan harus menyadari dan bekerja keras dalam
proses kebijakan publik untuk melahirkan konsensus kebijakan yang berpihak
kepada rakyat dan bukan untuk kepentingan diri dan kelompok.
Kedua, orientasi
kepala daerah dan pembuat kebijakan (baca: perwakilan rakyat alias anggota
DPRD) tidak sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Hal itu karena kepala daerah
dan perumus kebijakan tidak paham tujuan esensial dari pemilihan sistem yang
demokratis. Demokrasi bukan untuk melayani elite politik yang berjasa di saat
kampanye dengan kepentingan-kepentingan yang sempit, tetapi melayani
kepentingan masyarakat.
Ketiga, sistem
pemerintahan yang terdesentralisasi dan pemilukada yang terjadi untuk
menciptakan pemerintahan daerah yang otonom dan pemimpin daerah yang sah dan
kuat di mata masyarakat, tidak serta-merta mendorong kepala daerah dan pembuat
kebijakan di daerah secara leluasa menyusun kebijakan publik di daerah. Hal itu
karena adanya berbagai aturan baik dalam bentuk UU maupun peraturan pemerintah
yang berlaku dalam sistem politik di Indonesia. Seperti adanya Undang-Undang
tentang Pembangunan Nasional (UU No. 25/2004). Implikasinya, daerah harus
memiliki RPJMD dan RPJPD yang mempersyaratkan bahwa daerah dalam merencanakan
program pembangunannya harus sesuai dengan tujuan pembangunan nasional yang
ada, baik dalam RPJPN maupun RPJMN. Kepala daerah dan pembuat kebijakan di
daerah tidak begitu saja dapat melaksanakan pembangunan sesuai dengan keinginan
yang dijanjikan dalam kampanyenya kepada masyarakat. Akan tetapi, harus
berdasarkan RPJPN dan RPJMN yang digariskan oleh pemerintah pusat. Oleh karena
itu, kepala daerah terpilih harus jelas membeberkan visinya, dengan rencana
strategis nasional maupun daerahnya agar nyambung.
2. Langkah perbaikan
Dalam praktik sistem
penyelenggaraan pemerintahan daerah ke depan perlu mengambil langkah-langkah
sebagai berikut.
Pertama, kepala daerah
dan perumus kebijakan perlu dibekali kemampuan dalam hal keterampilan
komunikasi dan negosiasi selain tuntutan keterampilan profesional dan teknis
yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan publik. Dalam proses kebijakan
publik yang demokratis, mereka harus siap untuk dapat mengakomodasi secara arif
dan bijaksana beragam kepentingan dan kedudukan.
Kedua, untuk mengatasi
fenomena proses pembuatan kebijakan publik yang berorientasi kepada kepentingan
elite parpol dan pengusaha yang memberi modal, langkah yang ditempuh adalah
sedari awal platform dari partai politik harusnya juga memperhatikan
relevansinya dengan pembuatan kebijakan publik bagi kepentingan rakyat.
Pemilukada bukan merupakan proses demokrasi yang bersifat prosedural atau
ritual semata tetapi esensi substansinya setelah proses tersebut, yakni apa
yang dibuat dalam kebijakan publik harus berasal dari rakyat, bersama rakyat,
dan untuk rakyat.
Langkah ketiga, calon
kepala daerah dan elite politik dalam parpol perlu peka dan menyikapi atau
responsif terhadap tuntutan sinergi pembangunan yang dilakukan di daerah dengan
program pembangunan yang dicanangkan pemerintah pusat. Oleh karena itu,
janji-janji politik yang dibuat harus juga melihat berbagai visi, misi, dan
orientasi kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, selain
memperhatikan potensi di daerah dan aspirasi masyarakat daerah. Selanjutnya
kepala daerah tidak usah ragu meminta bantuan fasilitasi para pemikir di
bidangnya agar kebijakan yang dilaksanakan berkualitas bagi kesejahteraan
rakyat dan daerah otonomya
No comments:
Post a Comment