Nama
: Hairil Sakthi
Hr
Nim
: E 211 13 307
Jurusan
: Ilmu Administrasi
Pengetahuan lokal (kearifan
lokal) merupakan hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman
hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Sehingga kearifan lokal merupakan
pengetahuan lokal yang digunakan masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam
suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan
diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang
lama. Proses regenerasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi lisan (cerita
rakyat)dan karya-karya sastra, seperti babad, suluk, tembang, hikayat, lontarak dan lain sebagainya.
Dalam konteks siri’-masiri,
Mangemba mendifinisikan siri’ sebagai penggerak secara spiritual yang
membimbing perilaku masyarakat Sulawesi Selatan dalam menghadapi dan
menyelesaikan berbagai persoalan seperti perkawinan, hubungan keluarga, hukum, instutisi
politik dan ekonomi. Dalam manuskrip lontara’ menggambarkan siri’ bukan hanya
mencakup akibat, tetapi juga mencerminkan diri. Orang merasa malu (siri’)
ketika mereka melanggar nilai luhur yang mereka pegang. Sehingga kualitas siri’
akan menurun jika seseorang mempunyai keinginan yang berlebihan atau serakah,
sebagaimana dalam kasus raja yang kehilangan kekuasaannya karena tindakan
tercela (kasiri’ siri’). Fungsi malu dalam konteks siri’-masiri’ bisa lihat
sebagai alat kontrol sosial.
Dalam sistem kehidupan masyarakat
budaya Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan, siri'adalah salah-satu bentuk
pranata susila sosial yang dianggap cukup tabu oleh masya¬rakat di daerah ini.
Begitu tabunya masalah siri' ini dalam sistem kehidupan kemasyarakatan semesta
termasuk di antaranya adalah siri' sebagai upaya privensi terjadinya delik
dalam kehidupan bermasya¬kat dan berbudaya, bahkan sampai kepada bernegara
sekalipun. Karena siri' dianggap suatu sebagai pandangan hidup, dan seolah olah
masalah itu ditaati sebagai suatu undang-undang yang tertulis.
Dalam penerapan nilai-nilai
budaya siri' ke dalam sistem kehidupan sehari-hari, bagi suku Bugis-Makasar
bukanlah sekedar simbol. Tetapi lebih dari itu sangat penting artinya terutama
sekali dalam kehidupan kemasyarakatan, tata pemerintahan, dan bahkan tata hukum
sebagai hukum tak tertulis (dalam hal ini, khususnya hukum adat pidana). Orang
yang tidak memiliki nilai siri' dalam dirinya, maka orang tersebut dianggap
tidak bernilai atau tidak beradab dan tidak berharkat-martabat (demikian
tulisan Kamri, dalam laporan hasil penelitiannya yang berjudul -Budaya Siri'
Sebagai Pola Tatanan Kehidupan Masyarakat Bugis- Makassar: Suatu Tinjauan
Pelestarian Nilai-nilai Budaya Berdasarkan Pasal 14 UULH, 1995 hal. v-vi).
Terdapat empat macam prototipe
manusia menurut konsep siri'. Pertama, Tomasiri = Toengka siri'na. Orang yang
sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan. Orang
seperti ini paling dibutuhkan dalam KEPEMIMPINAN. Kedua, tositengnga-tengnga
siri'na. Orang yang memiliki rasa siri' hanya setengah-setengah. Pada umumnya
orang seperti ini tidak memiliki pendirian yang tetap. Ketiga, Tomakurang
siri" dan kempat, Todegaga siri'na = orang yang tidak memikirkan rasa
siri'.
Siri’ hanya dapat berfungsi jika
ia dikaitkan dengan unsur-unsur adat lainnya. Salah satu aspek penting adalah,
mangngalli yang mencakup kualitas keagamaan, pengetahuan, kepribadian yang baik
dan kekayaan. Jadi siri’ akan mempunyai daya dorong bagi pendukungnya untuk menghormati
orang lain dan bekerja keras dengan tidak bertentangan dengan nilai-nilai
keagamaan. Bahkan siri’ dianggap sebagai sumber keberhasilan rakyat Sulawesi
Selatan di luar tanah air mereka. Salah seorang yang berasal dari tradisi siri’
dan mencapai prestasi besar adalah Tun Abdul Razak, mantan Perdana Menteri
Malaysia adalah putra Sulawesi Selatan. Contoh lain adalah
Sulaeman yang menjadi Sultan di Johor. Pada abad ke-18 orang-orang Makassar meninggalkan tanah airnya dan menjadi penguasa di Semenanjung Malayu.
Sulaeman yang menjadi Sultan di Johor. Pada abad ke-18 orang-orang Makassar meninggalkan tanah airnya dan menjadi penguasa di Semenanjung Malayu.
Dari perspektif agama, siri’
mengarahkan bagaimana orang Bugis-Makassar mengabdi pada Tuhan dan memberikan
aturan normatif yang membimbing perilaku manusia. Orang disamakan
dengan binatang jika tidak mematuhi aturan agama. Sebagaimana digambarkan dalam pepatah yang artinya ‘jika tidak ada siri’, maka tidak akan ada agama, jika tidak ada agama, maka tidak akan ada Allah, jika tidak ada Tuhan, maka tidak akan ada surga.
dengan binatang jika tidak mematuhi aturan agama. Sebagaimana digambarkan dalam pepatah yang artinya ‘jika tidak ada siri’, maka tidak akan ada agama, jika tidak ada agama, maka tidak akan ada Allah, jika tidak ada Tuhan, maka tidak akan ada surga.
Nilai-nilai kearifan budaya lokal
itu jika tidak dijaga dan dipelihara, dikhawatirkan secara berangsur akan
terjadi proses kepunahan, karena desain besar kebudayaan seringkali tidak mampu
mengendalikan dinamika sosial ke arah bagaimana yang dirancangkan. Perkembangan
sosial, ekonomi dan politik, sebagai akibat dari globalisasi menjadikan budaya
lokal sebagai pondasi modernisasi budaya menuju budaya Indonesia yang maju dan
unggul mengalami hambatan-hambatan.
Pada umumnya orang seperti ini
cenderung melakukan tindak pidana tanpa tujuan kecuali kejahatan. Berkaitan
dengan hal tersebut di ataslah sehingga berpandangan bahwa siri' merupakan
salah satu bentuk pranata susila sosial yang dapat dijadikan instrumen pranata
hukum pidana yang bersifat priventif. Hanya raja dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dewasa ini, lalu kondisi kehidupan sosial masyarakat
adat Bugis-Makassar turut terpengaruh. Salah-satu penga¬ruhnya adalah pemahaman
terhadap makna hakikat sini' ternyata berkembang. Yaitu ada siri" dalam
arti positif dan ada dalam arti negatif.
Dalam tradisi siri’, laki-laki
dianggap sebagai pembela kehormatan dan perempuan sebagai wadah kehormatan.
Unsur penting dalam tradisi siri’ adalah kenyataan bahwa kehormatan perempuan mencakup
kesucian, keperawanan dan kemampuan merawat suami setelah menikah. Masyarakat
Bugis-Makassar percaya bahwa menjaga anak perempuan bukanlah pekerjaan yang
mudah. Maka muncul ungkapan ‘menggembala seratus kerbau lebih mudah daripada
menjaga seorang anak perempuan’. Perempuan yang belum menikah tidak hanya menjadi
simbol kehormatan keluarga, tetapi juga akses pada kekayaan. Jika seorang
perempuan Makassar melanggar aturan perkawinan, orang tuanya akan menanggung
aib. Sesuai kewajiban adat, keluarganya melakukan pembunuhan dan kekerasan
untuk memperoleh kembali kehormatan mereka yang hilang.
No comments:
Post a Comment